Category:

Opini

Menjadi Indonesia

August 19, 2020·5 min read
Menjadi Indonesia

Menurut Anderson (2006), seorang Indonesianis yang berpendapat tentang kebangsaan orang Indonesia tercipta karena adanya print-language yaitu Bahasa Indonesia yang menjadi konsensus bangsa ketika disepakati oleh para pemuda pada tahun 1928. Meskipun pada awal kemerdekaan, hampir mayoritas penduduk Indonesia berbicara bahasa ibu atau bahasa sukunya masing-masing, tapi kini jutaan pemuda/pemudi Indonesia telah menjadikan Bahasa Indonesia sebagai mother-tongue yang didorong oleh faktor latar etnolinguistik. Jika membandingkan dengan negara-negara Afrika yang juga pernah dijajah oleh bangsa Eropa, banyak bangsa yang telah kehilangan bahasa aslinya dan telah digantikan oleh bahasa penjajahnya, tetapi Indonesia dengan nasionalismenya mampu berkompromi untuk bersatu dalam ikatan bahasa persatuan.

Hal ini terjadi karena fenomena Eurocentric provincialism yang menjadikan transformasi colonial-state di Asia-Afrika menjadi nation-state tetap berkiblat pada model Eropa. Oleh karenanya, wacana local wisdom atau kearifan lokal kembali dihidupkan, salah satunya dengan memiliki bahasa persatuan. Bagi rakyat Indonesia sendiri, langkah-langkah tersebut telah dimulai ketika Kongres Pemuda di Jakarta. Kala itu founding parents menyatakan bahwa Bahasa Indonesia merupakan perekat kehidupan multietnik yang hidup di wilayah Nusantara. Evers (2016) mengatakan bahwa istilah ‘Nusantara’ telah muncul sejak era Kerajaan Majapahit yang menguasai wilayah kepulauan yang terbentang dari Sumatra hingga Filipina. Nusantara sendiri berarti ‘diantara kepulauan’ dan kata ini dapat ditemukan dalam manuskrip kitab kuno Pararaton.

Bagi orang-orang yang hidup di wilayah Nusantara, tanah merupakan tempat hidup dan air adalah jalan penghubung yang menjadikannya satu serta padu. Cita-cita luhur serta kearifan lokal turut membentuk masa depan orang-orang yang tinggal di Nusantara lalu pada masa setelah kekuatan kolonial dapat dipukul mundur, mereka bersepakat untuk menjadi sebuah bangsa baru yang hidup dengan keragaman budaya dan etnis, sehingga jadilah Bangsa Indonesia yang kini memasuki umurnya yang ke-75.

Ruh Sumpah Pemuda yang menjadikan Bangsa Indonesia kini ada

Sumpah Pemuda Kedua adalah tonggak pengakuan identitas bangsa yang mulai mengenali dirinya sebagai satu entitas setelah sekian ratus tahun terdistorsi oleh kekuatan asing dan dipecah-belah oleh keserakahan kekuatan kolonial. Meski telah dimaafkan oleh bangsa Indonesia, permohonan maaf Raja Belanda pada 10 Maret 2020 atas kejadian masa lampau di era kolonial tidak serta merta menghapuskan ingatan akan perlakuan yang telah dilakukan penjajah. Butuh waktu yang cukup panjang untuk mengubah psikis pasca kolonial yang menimpa rakyat Indonesia. Namun dengan semangat ingin maju, bangsa ini harus move on dan memberikan ganjaran atas apa yang penjajah lakukan dengan menunjukkan prestasi dan kohesi sosial yang kuat agar mampu menghadapi tantangan zaman.

Adapun dalam merevitalisasi kohesi sosial tersebut adalah dengan menghidupkan kembali semangat Sumpah Pemuda melalui kontemplasi dan aksi kebangsaan. Sumpah pertama yang menghargai perjuangan bangsa dengan jiwa dan harta adalah kunci awal mencintai tanah air Indonesia. Bangsa yang ingin hidup sampai seribu tahun harus memiliki ruang untuk hidup yang terjaga. Meski saat ini, wilayah Indonesia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau harus menghadapi ancaman degradasi lingkungan akibat polusi, ekspansi ekonomi, dan pemanasan global yang dapat menghilangkan kepulauan-kepulauan kecil akibat meningginya permukaan air laut. Kaum muda harus bertindak dengan mendorong legislasi dan hukum yang berpihak pada lingkungan, awas pada konglomerasi, dan keserakahan korporasi yang dapat mengancam lingkungan. Tindakan untuk melindungi tumpah darah dan tanah air tidak bisa dilakukan sendiri, harus dikerjakan secara kolektif agar kesadaran dan tindakannya berdampak luas.

Sumpah kedua adalah penguatan identitas bangsa dengan menyeimbangkan kearifan lokal dan nilai berbangsa bernegara. Kita mesti tetap memelihara kekayaan budaya sembari mengukuhkan kesatuan identitas sebagai bangsa Indonesia. Utamanya Ketika berada di kancah antarbangsa. Anak muda harus mampu tegak bangga dengan identitasnya sebagai orang Indonesia, meski dia beretnis Aceh, Gayo, Jawa, Batak, Tionghoa, Arab, Maluku, Melayu, Banjar, Dayak, Sasak, Flores, Papua, dan lain-lain. Duduk sejajar berdiri sama tinggi ketika berhadapan dengan bangsa lain, tinggalkan inferiority complex yang sering kita rasakan ketika bersanding di arena internasional.

Sedangkan sumpah ketiga adalah bersatunya anak bangsa dalam Bahasa Indonesia yang kaya akan dialek daerah, tanpa harus melupakan hikayat tradisional dari bahasa-bahasa etnis masing-masing. Jangan sampai Bahasa Indonesia menjadi pengeliminasi bahasa lokal, namun jadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa tengahan yang memoderasi kehidupan ragam etnis yang ada di wilayah Nusantara. Bahasa adalah medium menyampaikan ide dan gagasan, serta membawa kearifan lokal ke tengah dialektika kebangsaan yang harus terus menerus dilakukan agar otentisitas toleransi dan nasionalisme bangsa Indonesia tetap terjaga.

Indonesia Sejati

Suatu ketika penulis pernah berjumpa dengan sekelompok anak muda keturunan Tionghoa yang bersekolah di Singapura. Pertemuan terjadi di Vivo City, sebuah mall yang berada di Harbour Front. Mereka tampak seperti pelajar yang tidak ubahnya dengan kebanyakan masyarakat Singapura yang beretnis Tionghoa. Ketika didekati, ternyata dengan lantang mereka berbahasa Indonesia dan terlihat bersenda-gurau satu sama lain. Jika memahami kondisi masyarakat Singapura yang konservatif dan cenderung dominan etnisitasnya, maka sekelompok anak muda yang ternyata adalah orang Indonesia tetap bangga berkomunikasi dengan bahasa negaranya, padahal bisa saja mereka berkomunikasi dengan bahasa etnisnya. Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu elemen perekat persatuan adalah bahasa dan seragam identitas bersama sebagai bangsa juga merupakan faktor kohesi sosial sesama anak bangsa dapat terjalin.

Bahasa Indonesia adalah kunci persatuan, identitas bangsa adalah seragam persatuan, dan tanah air adalah tempat persatuan seluruh jiwa yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara yang kini berusia 75 tahun memang masih muda dibandingkan negara lain, tetapi kearifan bangsanya yang luhur telah hidup ribuan tahun silam. Integrasi bangsa yang telah terjadi harus dirawat dengan semangat yang tidak boleh padam dalam mengarungi zaman. Era COVID-19 dapat dijadikan momentum menguji diri dan semakin mempererat kohesi sosial bangsa melalui penguatan ruh sumpah pemuda secara kolektif. Bila bangsa ini ingin tetap ada sampai seribu tahun lagi, ingin berjaya diantara peradaban yang ada, ingin mencapai cita-cita bangsa, maka saat inilah melahirkan prestasi yang gemilang dengan fondasi sosial bangsa yang kuat. Modal bangsa ini telah ada, tinggal bagaimana generasi penerusnya, yakni pemuda dan pemudi bangsa menghayati nilai-nilai luhur tersebut agar lestari dalam tingkah serta laku berbangsa bernegara.[dza]

Ya!Magz

Ya! Magazine 2024. All rights reserved.

INSTAGRAMPPI BURSA

READ

ArticlesMagazinesAuthors

CONTACT US