Category:

Art

Penyalin Cahaya; Pil Pahit Kekerasan Seksual di Indonesia

February 7, 2022·8 min read
Penyalin Cahaya; Pil Pahit Kekerasan Seksual di Indonesia

Sinopsis

Suryani (Shenina Syawalita Cinnamon) - kerap disapa Sur, mahasiswi semester pertama Jurusan Ilmu Komputer, bergabung dengan UKM Teater Matahari sebagai perancang dan pengelola situs teater. Berkat prestasi akademiknya, ia mendapat beasiswa dari ikatan alumni fakultas yang harus dilaporkan dan dievaluasi setiap bulan. Teater yang ia ikuti baru saja memenangkan lomba teater nasional melalui pementasan “Medusa” dan akan mewakili Indonesia ke Jepang. Mereka menyelenggarakan pesta untuk merayakan kemenangan tersebut. Pada malam itu, Sur kehilangan kesadaran akibat ‘minum’ yang berujung pada pemberhentian dana beasiswa karena foto-foto Sur saat mabuk terunggah di akun Instagramnya. Kondisi semakin meresahkan ketika Sur menyadari bahwa kaos yang ia kenakan saat pesta terbalik, mengindikasikan bahwa kaos tersebut sempat dilepas. Merasa ada yang menjebaknya, Sur kemudian menelusuri kronologi kejadian pesta semalam. Selama penelusuran, Sur dibantu oleh Amin (Chicco Kurniawan), tukang fotokopi kampus yang merupakan temannya sejak kecil dan Anggun (Dea Panendra), Ketua Teater Matahari. Di tengah film, CCTV yang dianggap menjadi kunci segalanya, justru membuka fakta lain yang lebih besar. Dua hipotesisnya, yaitu ada yang memasukkan obat ke minuman Sur dan foto mabuknya di Instagram diunggah oleh orang lain, tidak terbukti. Orang-orang mulai kehilangan simpati terhadap Sur. Meskipun penelusuran yang ia lakukan menjadi lebih sulit, Sur berhasil mengungkap masalah yang jauh lebih besar dari foto mabuknya di Instagram.

Makna di Balik Simbol

  1. Penyalin Cahaya
    Secara harfiah, penyalin cahaya adalah mesin fotokopi itu sendiri, bagaimana salinan-salinan kertas yang diproduksinya menggunakan cahaya. Lebih lanjut, cahaya ini juga digunakan dalam menangkap gambar. Investigasi Sur diawali oleh foto-foto mabuknya, pengumpulan bukti juga bertumpu pada foto-foto, sampai di akhir, bukti-bukti tersebut dilipatgandakan menggunakan mesin fotokopi. Cahaya mesin fotokopi berwarna hijau menjadi warna dominan dalam film ini, menjelma jadi apa saja, termasuk baju kebaya yang dikenakan Sur. Khas Indonesia, di mana mahasiswa memiliki hubungan yang dekat dengan toko fotokopi, di sini juga Sur sebagian besar melakukan investigasinya. Secara filosofis, penyalin cahaya bisa juga diartikan sebagai manifestasi harapan; bukti yang Sur kumpulkan diperbanyak salinannya dan digaungkan oleh banyak orang sehingga bisa menerangi kegelapan.

  2. Medusa
    Film diawali dengan pementasan teater Medusa. Di pesta kemenangan, kita juga bisa melihat kepala Medusa. Di teatrikalnya Rama (Giulio Parengkuan), nama Medusa juga disebut beserta nama Perseus. Medusa dalam mitologi Yunani merupakan korban pemerkosaan Poseidon. Alih-alih mendapat keadilan, Medusa justru dikutuk oleh Athena menjadi Medusa yang kita kenal sekarang dengan ular-ular di kepalanya dan membuat siapa saja yang menatapnya berubah menjadi batu. Dengan dukungan semua dewa, kepala Medusa kemudian dipenggal oleh Perseus. Di Florence, Italia, patung Perseus memegang kepala Medusa buatan Cellini digambarkan sebagai kemenangan. Pada tahun 2008, seniman Luciano Garbati mengkritisi patung ‘kemenangan’ ini dan membuat patung baru; Medusa memegang kepala Perseus. Berbeda dengan ekspresi bangga patung Perseus yang dibuat Cellini, Garbati menggambarkan ekspresi Medusa dengan kegigihan dan amarah; ini bukan kemenangan Perseus, melainkan perlawanan Medusa. Kisah Medusa dalam film ini tidak hadir tanpa hubungan. Sur adalah Medusa itu sendiri. Tidak mendapat keadilan dan perlindungan sebagai korban, suaranya justru dibungkam dan diputar menjadi pihak yang bersalah.

  3. Fogging
    Adegan fogging yang berulang mungkin mengganggu penonton sampai di akhir kita mengerti ada makna lain dalam adegan tersebut. Asap fogging membatasi jarak pandang dan ruang bernapas Sur, sehingga ia merasa hilang arah dan sesak. Slogan 3M; menguras, menutup, mengubur tidak pernah terasa semencekam itu. Menguras habis tenaga dan mental Sur, menutup rapat mata, mulut, dan telinga seakan tidak terjadi apa-apa dan mengubur kasus kekerasan seksual dengan segala trauma yang tetap hidup. Untuk kebanyakan kasus kekerasan seksual di Indonesia, kita terbiasa dengan penyelesaian fogging.

Kekerasan Seksual

Penyalin Cahaya mengangkat isu kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Terasa dekat sejak maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus beberapa tahun terakhir ini; baik tempatnya yang di kampus, maupun yang dilakukan oleh teman kampus atau dosen. Secara umum digambarkan secara realistis. Bukan ini yang kita harapkan, tapi nyatanya memang begitu yang terjadi di Indonesia, masih jauh dari kata ideal dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Hampir semua penanganan kasus kekerasan seksual memiliki pola yang sama.

  1. Korban melapor, tapi tidak ada yang percaya.
    Persis seperti Sur yang melapor adanya indikasi perpeloncoan di Teater Matahari, tapi malah ditepis oleh dosennya menganggap bukti yang diserahkan tidak cukup kuat dan justru berakhir menormalisasi perpeloncoan. Begitu juga dengan Farah (Lutesha) yang lebih dulu mencoba mengungkap kebenaran malah dibilang halusinasi.

  2. Kebanyakan korban tidak mendapat dukungan dari orang sekitar, baik teman bahkan keluarga.
    Anggun yang sejak awal mendampingi Sur, mulai kehilangan simpati di tengah jalan ketika apa yang menjadi hipotesis Sur terpatahkan. Beberapa orang yang mendukung Sur di awal pun ternyata bersifat manipulatif. Pada akhirnya Sur didukung oleh sesama korban. Sur yang diantar ke rumah oleh laki-laki pada jam 3 subuh dalam keadaan tidak sadar, membuat marah bapaknya karena dianggap sebagai aib keluarga. Padahal ada jauh yang yang lebih penting daripada memikirkan pandangan tetangga, misalnya menanyakan kabar anaknya; apakah terjadi apa-apa pada anaknya saat pesta dan di saat perjalanan pulang. Tapi, adegan Sur dan ibunya di motor depan toko bunga memberi harapan bahwa setidaknya pasti ada satu orang yang akan memercayai dan melindungi korban.

  3. Risiko dijerat hukum pencemaran nama baik dan korban ditempatkan menjadi pihak yang bersalah.
    Ketika Sur memberi bukti yang ia kumpulkan ke Dewan Etik untuk diselidiki lebih lanjut dan meminta perlindungan identitas, justru malah tersebar dan menjerat Sur dengan pasal pencemaran nama baik. Untuk dosa yang tidak ia lakukan, Sur dipaksa membuat video permohonan maaf yang direkam langsung oleh bapaknya.

  4. Kekuatan korban menular.
    Berapa kali kita lihat berita bahwa ternyata pelaku kekerasan seksual sudah melakukan ke banyak korban? Tentunya berita tersebut bisa muncul dengan laporan salah satu korban, yang kemudian mengundang korban lainnya untuk ikut bersuara. Maka ketika korban kekerasan seksual bersuara, percayalah suaranya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk kemungkinan korban-korban lainnya di luar sana. Dalam film ini, setelah video permohonan maaf Sur, dua korban lainnya mendatangi Sur untuk berjuang bersama. Klise tapi benar, semakin banyak orang, semakin banyak energi yang bisa dikeluarkan.

  5. Menjadi viral adalah kemampuan bertahan hidup.
    Ketika hukum tidak bisa dipercaya, maka jurus terakhir yang harus dikeluarkan adalah memviralkan kasusnya. Berapa sering kita mengetahui kasus kekerasan seksual dari utas di Twitter, bukan dari laporan kepolisian? Penyalin Cahaya ditutup dengan pas. Itu tentu membuat kecewa akal sehat kita, nilai ideal yang kita percayai, tapi seharusnya kita cukup realistis untuk melihat berapa banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia yang berakhir gantung, persis seperti di film.

Melihat dari sudut pandang korban:
Ketangguhan dan kecanggihan Sur perlu diapresiasi, tapi realitanya tidak semua korban kekerasan seksual secanggih dan setangguh Sur. Sudut pandang Sur lebih didominasi oleh logika, sedangkan perasaan traumatisnya tidak ditampilkan. Setidaknya sekali Sur seharusnya ditampilkan berkontemplasi; memikirkan apa yang sudah terjadi pada tubuhnya, memeriksa kemungkinan terburuk pada perutnya, perasaan cemas dihantui rasa tidak aman dan tidak percaya pada siapa pun, dll. Ada yang seperti Sur di dunia nyata, tapi lebih banyak yang seperti kedua teman Sur, yang trauma dan putus asa, sehingga memilih untuk tidak mengusut kasus mereka.

Pakaian kebaya dengan dalaman kaos hitam tertutup yang dikenakan Sur saat pesta mematahkan mitos bahwa pakaian korban lah yang memicu pelaku kekerasan seksual. Fisik korban yang ‘sempurna’ sebagai pemicu juga terpatahkan, ketika dalam film ini justru luka, tanda lahir, dan tato yang menjadi fetish pelaku.

Tidak hanya perempuan, laki-laki juga tidak terhindar dari risiko kekerasan seksual. Tapi tentu, dengan penggambaran dua banding satu di dalam film, pada kenyataannya pun lebih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Melihat dari sudut pandang pelaku: Hasrat yang mendorong pelaku kekerasan seksual beragam, yang dalam film ini digerakkan oleh hasrat berkesenian. Kebanyakan kekerasan seksual terjadi karena relasi kuasa; baik merasa berkuasa karena uang atau merasa di posisi lebih tinggi sebagai laki-laki. Dalam film ini, kuasa pelaku bersumber dari uang dan pengaruh. Sedangkan pelaku lainnya yang tidak disangka-sangka, didorong oleh kebutuhan ekonomi. Karakter pelaku sangat manipulatif, yang mereka jadikan topeng dan lebih jauh bisa menjebak korban dalam perasaan bersalah dan takut.

Setelah mendapatkan 12 Piala Citra, pada 10 Januari 2022, melalui akun Instagram pribadi, Sutradara Penyalin Cahaya, Wregas Bhanuteja mengumumkan pernyataan sikap bahwa salah satu kru filmnya merupakan terduga pelaku kekerasan seksual beberapa tahun silam dan untuk itu, namanya dihapuskan dari kredit film Penyalin Cahaya. Sangat ironi bagaimana film yang menceritakan tentang kekerasan seksual diproduksi oleh pelaku kekerasan seksual. Tidak sedikit netizen yang mempertanyakan ketidaktahuan kru film lainnya terhadap kasus pelaku sejak awal dan menganggap seluruh kru film cuci tangan, yang berujung pada narasi cancel Penyalin Cahaya, karena mereka tidak mau menikmati hasil karya pelaku kekerasan seksual. Di sisi lain, netizen yang tetap menonton didasarkan pada argumen bahwa produksi film ini tidak dilakukan oleh pelaku semata, tapi ada banyak kru yang bekerja, sehingga tidak adil jika memberi hukuman kepada pelaku yang malah berdampak pada kru lainnya.

Kemudian pertanyaannya, apakah mengapresiasi Penyalin Cahaya sama dengan menerima kehadiran pelaku kekerasan seksual dalam industri film dan lebih jauh lagi mengapresiasi kontribusinya dalam film ini?

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Mematuhi dan menjaga kepercayaan orang tua adalah salah satunya, tapi bukan satu-satunya. Orang tua juga sepatutnya melindungi anaknya ketika ia menjadi korban dan haknya diambil orang lain. Jangan sampai diterjemahkan bahwa apa yang dialami Sur adalah karma, akibat tidak mematuhi bapaknya, yang kemudian membuatnya pantas menjadi korban. Tidak ada siapa pun yang pantas menjadi korban kekerasan seksual.

Dari sudut pandang korban, kita harus menjaga diri sebagai upaya tanggung jawab terhadap diri sendiri.

Di sisi lain, tentu saja, penyebab satu-satunya kekerasan seksual bisa terjadi, yaitu pelaku, harus kontrol diri untuk tidak melakukan kekerasan seksual. Bukan soal bisa atau tidak bisa; lantas ketika tidak bisa akan dimaklumi. Kontrol diri adalah keharusan.

Sebagai teman korban, kita harus mendengar, memvalidasi perasaannya, sambil menelusuri kebenarannya. [Gsh]

Ya!Magz

Ya! Magazine 2024. All rights reserved.

INSTAGRAMPPI BURSA

READ

ArticlesMagazinesAuthors

CONTACT US