Category:

Plesiran

Plesiran Menuju Eropa: Menjangkau Edirne

February 3, 2020·4 min read
Plesiran Menuju Eropa: Menjangkau Edirne

Entah apa yang membawa langkah kakiku menuju ibu kota Utsmani ke-2, Edirne. Mungkin dari salah satu artikel di buku belajar bahasa Turki yang menyebutkan keagungan dan kecerdikan Mimar Sinan, perancang Selimiye Camii, ketika diminta oleh Sultan Selim membuatkan masjid atas namanya.

Mungkin juga kerinduan melakukan perjalanan dengan kereta, membawa nostalgia jauh ke masa kecilku. Atau mungkin, pelarian dari semua kepenatan rutinitas kehidupan sehari-hari yang monoton, yang membuat diri ini serasa robot, melakukan hal yang sama dari hari ke hari.

Perjalanan dimulai dari Istanbul. Bagaimana cara menggunakan kereta sudah kucari tahu jauh-jauh hari. Dari pusat kota, aku dan kawan-kawan menuju Stasiun Halkalı menggunakan Marmaray. Dari loket kami membeli 3 tiket seharga 18,5 lira, harga diskon 20 persen untuk pelajar. Mengira waktu keberangkatan masih lama, kami pergi ke minimarket terdekat membeli kebutuhan selama perjalanan. Memang waktu masih menunjukkan setengah jam menuju waktu keberangkatan, sesampainya di peron, terheran-heranlah kami, melihat orang-orang ramai berlalu-lalang mencari tempat duduk, sementara yang dicari tak terlihat keberadaannya. Di situlah kami disambar kenyataan, kereta ini tak menetapkan posisi tempat duduk. Siapa cepat dia dapat, prinsipnya.

Tak ambil pusing, kami berhenti di satu titik, di tengah sebuah gerbong kemudian meletakkan ransel-ransel pada kompartemen di atas kepala kami. Di sebelah tempat kami berdiri, duduk seorang nenek, menawarkan kami duduk bersamanya. Tapi satu bangku tak bisa memberi tempat untuk kami semua. “Aku pergi bertiga dengan putri dan menantuku, kami akan turun di Çerkezköy. Setelah kami turun, kalian bisa menempati tempat kami,” kata beliau. Beberapa kali bergantian kami duduk bersamanya, yang tak kebagian, memilih antara duduk di lantai atau berdiri bersandar pada kursi.

Pemandangan dari jendela kereta, awalnya terlihat birunya Laut Marmara, kemudian pelan-pelan kereta menjauhi pesisir, pemandangan berganti dengan hamparan ladang-ladang. Sebagian berwarna hijau, sebagian lagi sudah dipanen, menyisakan batang-batang pendek berwarna kuning dengan jejak mesin panen diantaranya. Di kejauhan juga terlihat barisan kincir angin. Awalnya hanya seperti lidi dengan kincir kecil di atasnya, namun semakin mendekatinya, baru terlihat wujud aslinya, raksasa. Mentari musim panas yang terlambat terbenam menyusul kemudian, warna khasnya, biru-merah jambu-oranye-merah, menghiasi langit.

Berbagai macam orang kami temui di gerbong itu. Seorang lelaki berjongkok di lorong kereta berkutat dengan buku tebalnya, sepertinya ada ujian yang harus ia kejar. Sebuah keluarga yang berbicara dengan dialek Turki Timur yang kental, anaknya bungsunya rewel tak keruan ingin pergi ke pintu kereta untuk memotret anjing di peron. Si ibu berusaha menahannya sambil memukul pantatnya, “Apa kau sudah gila?” sahutnya, sementara sang ayah acuh tak acuh, berdiri dari tempat duduknya, mengobrol dengan penumpang lain sembari mengeluhkan keadaan keluarganya, tak menggerakkan satu jari pun untuk membantu sang istri. Adapula sepasang suami istri, berbagi satu kursi, si istri yang terlihat kelelahan menyandarkan kepalanya di pundak si suami. Pemandangan seperti itu, dengan latar belakang matahari terbenam, terlihat romantis seperti keluar langsung dari layar drama korea. Belakangan aku menyadari salah satu barang bawaan mereka, sebuah kandang berisi anak-anak ayam, ditatap dengan pandangan penuh kasih sayang, memastikan kenyamanan dan keselamatannya.

Setelah berjalan beberapa lama, kereta sempat terhenti di tengah jalan tanpa ada penjelasan apapun dari petugas. Pukul 18.25, kereta sampai di Çerkezköy. Si nenek baik hati, putri dan menantunya, juga keluarga dari Timur Turki beserta sebagian besar penumpang turun. Akhirnya kami berkesempatan duduk. Keinginan membaca buku, kalah dengan rasa kantuk selepas menjelajah Istanbul seharian di udara panas. Ditambah lagi dengan empuknya kursi dan sejuknya suhu dalam gerbong menambah berat kantuk di kedua mata. Sekitar pukul 23.10, sampailah kami di pemberhentian Edirne Şehri, tepat di pusat kotanya. Terlambat kurang lebih 1 jam 10 menit dari jadwal seharusnya.

Terlepas dari segala keterlambatan dan ketidaknyamanan di awal-awal perjalanan, perjalanan dengan kereta menuju Edirne sangat nyaman, harga tiketnya pun lebih murah dibandingkan dengan bus. Sayangnya, dalam satu hari hanya ada satu kali perjalanan menuju Edirne dari Istanbul, pukul 18.00. Apabila sobat YA! berencana mengunjungi Edirne, menuju kesana dengan kereta sangat dianjurkan. Di ujung barat sana, kota yang menjadi pintu Turki kepada dunia Eropa sudah menunggu. [shb]

Ya!Magz

Ya! Magazine 2024. All rights reserved.

INSTAGRAMPPI BURSA

READ

ArticlesMagazinesAuthors

CONTACT US