Category:

Knowledge Center

Mengulik Sejarah Depok dan 1000 Alasan untuk Menertawakannya

May 12, 2021·7 min read
Mengulik Sejarah Depok dan 1000 Alasan untuk Menertawakannya

Sebagai warga Bekasi yang sudah kebal terhadap berbagai bully-an netizen, saya turut prihatin dengan perasaan warga Depok yang sedang mengalami bully terhadap kota yang mereka cintai itu. Bagaimana tidak? Seminggu terakhir ini timeline di Twitter dan media sosial lainnya dipenuhi dengan berbagai meme dan tulisan yang mencandai tingkah laku warga Depok. Percayalah Depok, walaupun saya sedikit ikut menertawakan candaan mereka, saya juga bisa merasakan hal yang sedang kalian rasakan sekarang. Jadi, santai saja.

Kehebohan nasional ini dipantik dengan kejadian ditangkapnya seekor babi hutan yang masuk ke lingkungan warga. Karena keresahan warga yang katanya sering kehilangan uang dan bingung dari mana asal babi tersebut, sepertinya mereka langsung berspekulasi bahwa babi tersebut adalah jelmaan dari manusia yang disebut sebagai “babi ngepet”. Hal tersebut tentu saja menghebohkan jagat maya, bahkan sampai menjadi trending di beberapa media sosial di Indonesia. Setelah ditelusuri lebih lanjut oleh pihak berwajib, ternyata babi yang telah tertangkap dan disembelih itu sebenarnya adalah pure babi dan bukan jelmaan dari manusia seperti yang dibicarakan oleh warga Depok sebelumnya. Salah satu kiriman yang ramai di media sosial adalah sebuah penelusuran tidak ilmiah kiriman @whenscarves melalui akun Twitternya yang mendapatkan ribuan likes dan retweet dari warganet.

enter image description here

Setelah melihat “Timeline Sejarah Depok” buatan netizen tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ini bukanlah kali pertama Depok menjadi sorotan di Indonesia. Kita juga dapat melihat banyak peristiwa lainnya yang ditulis di artikel, media sosial, dan juga banyak dibahas oleh Youtuber di kanal Youtube-nya. Mulai dari kisah urban legend yang melekat pada masyarakatnya, keunikan tingkah laku warganya, sampai dengan kebijakan wali kotanya yang menuai komentar pro-kontra dari warga sekitar maupun warga Depok sendiri. Walaupun Depok memiliki banyak celah untuk menjadi bahan bully-an netizen, tapi sepertinya nanti warga akan kembali melupakannya lalu hanya berfokus untuk merundung Bekasi yang letaknya berada di luar tata surya. Saya sih tidak apa-apa, saya yakin mereka belum pernah dengerin lagunya Young Lex yang judulnya “Bekasi” (bukan lagu yang direkomendasikan).

Bisa dibilang, saya bukanlah orang yang terlalu akrab dengan Kota Depok. Selain numpang lewat, mungkin hanya beberapa kali saja saya pernah menyinggahi kota tersebut; beribadah di Masjid Kubah Emas, beberapa kali mengunjungi teman saya yang tinggal di daerah Cisalak, dan pergi ke UI untuk mengagumi danau yang katanya angker itu. Berbekal dengan kuota internet, laptop, dan rasa penasaran, saya mencoba untuk sedikit mengulik sejarah singkat Kota Depok yang pastinya menarik sekali untuk dibahas. Yuk, langsung cuss...

Saya mulai dari percakapan yang pernah saya lakukan dengan beberapa kawan saya yang berdomisili Depok di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka sambil makan gorengan di sebuah warung kopi. Nama Kota Depok berasal dari kata padepokan, dikarenakan tempat yang sekarang menjadi Kota Depok ini dulunya adalah padepokan yang digunakan untuk belajar bela diri maupun bersemedi. Namun, dilansir dari histori.id kata Depok berasal dari kata “De Eerste Protestante Organisatie van Kristenen” yang artinya adalah “organisasi Kristen Protestan yang pertama” dan disingkat menjadi DEPOK. Jadi kawan saya tadi ternyata ada sedikit benarnya juga terkait perkataannya tentang padepokan, namun padepokan yang sesungguhnya adalah padepokan Kristiani.

Lalu sejarah ini bermula sejak akhir abad ke-17 (18 Mei 1696), seorang saudagar Belanda (crazy rich yang super kaya) yang juga adalah pejabat tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Cornelis Chastelein, membeli tanah yang meliputi Depok dan sekitaran Jakarta Selatan. Tanah yang dimiliki oleh Chastelein ini memiliki pemerintahannya sendiri dan terlepas dari campur tangan pemerintah luar. Hal tersebut disetujui oleh Pemerintahan Hindia Belanda dan malah menjadikan Chastelein sebagai kepala pemerintahan Depok yang pertama.

Dengan kepemilikan tanah yang begitu luas, Chastelein mempekerjakan ratusan pekerja yang didatangkan dari luar Pulau Jawa (enggak kebayang kan seberapa kayanya Bapak Kompeni ini?). Selain diberi tugas untuk mengelola kebun dan pekerjaan kasar lainnya, Chastelein menjadikan para pekerja ini sebagai target penyebaran agama Kristiani melalui padepokan Kristiani yang dimilikinya. Karena Chastelein merupakan sosok yang antiperbudakan, para penggarap tanahnya ini tidaklah ia anggap sebagai “budak”, tetapi ia anggap sebagai keluarga lalu membentuk 12 marga. Ke-12 marga itu adalah; Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob, dan Zadokh. Kelak, 12 marga ini yang akan menjadi cikal bakal warga Depok yang sebenarnya.

Sebelum meninggal pada tanggal 28 Juni 1714, Cornelis Chastelein telah menuliskan sebuah wasiat untuk membebaskan seluruh pekerjanya, bahkan mewariskan seluruh harta kekayaaannya kepada mereka. Kalo di zaman sekarang ada yang tiba-tiba dapet rezeki nomplok begini di Depok, pasti dikira ikut pesugihan babi ngepet. Kira-kira apa yang bisa kalian bayangkan kalau jadi pekerjanya? Kalo saya yang jadi pekerjanya sih, setelah mendapat kabar tesebut mungkin bakalan guling-guling di Jalan Daendels saking senangnya! Tapi sayangnya, pada saat itu tidak ada yang guling-guling di Jalan Daendels karena jalan kehidupan para pekerja Chastelein tidak semudah itu, guys!

Gubernur Jenderal Batavia dengan segera mengirimkan utusan untuk membatalkan surat wasiat tersebut dengan alasan mengikuti aturan yang terdapat pada Undang-Undang Kerajaan Belanda, yaitu orang Belanda tidak dapat mewariskan hartanya kepada orang lain selain warga Belanda. Warisan tersebut akhirnya diwariskan kepada anak Chastelein, dengan catatan para pekerjanya diizinkan untuk menggarap tanah yang sebelumnya mereka kerjakan dengan status hak pakai sebagai bentuk penghargaan dari Pemerintah Hindia kepada surat wasiat dari Chastelein. Lama kelamaan hak pakai tersebut berubah status menjadi hak milik atau dikenal sebagai Deelgerehtigen (ujung-ujungnya tetap dapat tanah tapi masih belum ada yang guling-guling di Jalan Daendels).

Pada zaman Hindia Belanda sepeninggal Cornelis Chastelein, warga Depok (yang mana adalah para bekas pekerja) memiliki hidup yang lebih nyaman dibandingkan dengan pribumi lain yang hidup di zaman yang sama. Mereka mendapatkan akses pendidikan, berpakaian seperti orang Belanda, bekerja di pemerintahan, menjadi petani yang kaya raya, namun tidak mungkin mengoleksi mobil mewah seperti ayahnya Rafathar.

Pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942, mungkin adalah masa tenggang mereka hidup dalam keadaan bergelimang harta. Pada masa itu mereka mulai merasakan kesulitan hidup dan tidak memiliki tempat untuk dimintai pertolongan, karena semua pribumi lain menganggap mereka sebagai sampah peninggalan penjajah. Titik balik nasib mereka yaitu pada saat Indonesia merdeka. Rasa cemburu orang sekitar Depok yang melihat warga Depok sebagai anak emas Hindia Belanda selama 2 abad lebih akhirnya pecah. Banyak warga Depok mati dan hartanya habis dirampok oleh penduduk lokal sekitaran Depok. Sampai hari ini keturunan dari 12 marga bekas pekerja Chastelein kebanyakan tinggal di daerah Depok Lama dan hanya tersisa sedikit.

Pada tanggal 4 Agustus 1952, Pemerintah Indonesia mengeluarkan ganti rugi sebesar Rp229.261,26 kepada warga Depok Lama. Seluruh tanah patikelir Depok menjadi milik pemerintah RI kecuali beberapa bangunan umum seperti gereja, sekolah, pemakaman, dan bangunan peninggalan Depok Lama lainnya. Dilansir dari depok.go.id pada tahun 1976 perumahan mulai dibangun baik oleh Perumnas maupun pengembang swasta, diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia (UI), serta meningkatnya perdagangan dan jasa yang semakin pesat. Pada tahun 1981, pemerintah membentuk Kota Administratif Depok yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri H. Amir Machmud. Dengan desakan masyarakat yang disampaikan melalui tuntutan aspirasi, juga Pemerintah Kabupaten Bogor bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang memang sudah merencanakan ini, akhirnya pada tahun 1999 Depok secara resmi terpisah dari Kabupaten Bogor kemudian menjadi Kota Depok sampai hari ini.

Begitulah kurang lebih sejarah singkat terlahirnya Kota Depok. Untuk sobat Ya! khususnya yang juga berdomisili Depok, mungkin di lain waktu kita bisa diskusi lebih panjang mengenai Kota Depok dan juga pengaruhnya di Indonesia. Sebenarnya saya masih ingin membahas tentang banyak hal lain, contohnya seperti lampu merah di sana yang memiliki nyanyian dan hitungan maju, namun saya sadar tulisan saya sudah banyak sekali.

Dari tulisan ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa wajah Depok yang dulu dengan Depok yang sekarang tentu saja berbeda. Banyak sekali gonjang-ganjing serta peristiwa-peristiwa terjadi di sana yang menjadikan Depok menjadi Depok yang sekarang dan tentunya semakin menjadi lebih baik (babi ngepet dan kolor ijo itu urusan lain). Mungkin cukup sekian pembahasan saya tentang kota yang memiliki kamus bahasa yang hampir sama dengan Bekasi ini. Semoga teman-teman sekalian tidak sembarang mem-bully Kota Depok lagi, tetapi juga bisa mengambil pelajaran dari tulisan saya ini (agar mem-bully-nya bisa lebih baik lagi xixixi). Terakhir, seperti biasa tulisan saya ini akan ditutup dengan pantun. Ekhem... (shb)

Ya!Magz

Ya! Magazine 2024. All rights reserved.

INSTAGRAMPPI BURSA

READ

ArticlesMagazinesAuthors

CONTACT US